Resensi Film : Traitor

Sutradara : Jeffrey Nachmanoff

Penulis : Jeffrey Nachmanoff (screenplay) dan Steve Martin (story) …
Tanggal release : 27 August 2008 (USA)
Genre: Crime/ Drama/ Thriller
Don Cheadle, Guy Pearce

Suatu hari di Sudan pada tahun 1978. Seorang laki-laki asli Sudan dengan menggunakan sorban kepala dan gamis putih tengah mengajar anaknya membaca Alqur’an. Pakaian putih itu seperti mencerahkan kulit sang ayah yang hitam perunggu. Anaknya juga menggunakan baju anak-anak pada umumnya. Biasa saja. Hanya kaos dan celana panjang, tengah tekun melafalkan ayat-ayat suci yang dibacanya. Mereka duduk bersila secara berdampingan. 
Sang ayah dengan penuh kasih mengajari anaknya membaca yang baik. Cahaya matahari begitu lembutnya menerobos masuk ke dalam bilik tempat dimana mereka selalu menyebut nama-nama suci dan bersholat dengan takjim, sehingga melihat mereka di sana seperti melihat lukisan yang membuat rasa damai.

Cuplikan awal film Traitor ini menggambarkan hubungan dekat ayah dan anak laki-lakinya. Kultur muslim Islam Sudan yang sudah membekali anak-anaknya guna menjadi muslim yang baik tergambar dalam bilik tersebut. Tidak ada satu pun pelajaran kekerasan diajarkan sang ayah. Hanya dunia cinta dan penuh kasih yang menghangati hubungan keduanya.

Hingga, masa indah itu semuanya berakhir selamanya hanya dalam satu ledakan yang berlangsung satu detik. Sebuah bom mobil seketika meledakkan ayahnya tanpa sisa, di depan mata anaknya sendiri.

Sejak itu tidak ada lagi kedamaian dalam kehidupan Samir Horn (Don Cheadle). Kehidupan dan kehariannya tidak sama seperti sebelumnya.

Pencarian arti “damai” bagi seorang muslim asal Afrika ini yang ingin diceritakan oleh Steve Martin, si komidian Hollywood. Kaget, kan. Iya. Si Steve Martin aktor komidi dan parodi itu. Tapi di film ini jelas, tidak ada satu pun cerita lucunya. Film ini sangat serius. Steve tampaknya ingin mencoba memahami mengapa seorang muslim taat dan baik budinya seperti Samir bisa berubah menjadi seseorang yang “berjuang” atas nama jihad, yang dalam dunia barat dianggap sebagai terorist.

Samir dewasa adalah pakar dalam membuat bom jenis apa pun.Dia telah lama malang melintang dalam hiruk pikuk “perang jihad” hingga Afghanistan. Hari itu dia ingin menyerahkan bahan peledak pesanan seorang Amir di suatu tempat rahasia. Namun sempat dihadang oleh seorang pejuang bernama Umar.

Menarik, Don Cheadle begitu fasih berbahasa Arab tanpa kaku sama sekali. Tapi bukan soal bahasa Arabnya sebagai tuntutan perannya, namun penjiwaannya sebagai “muslim terluka” di film ini, enggak kalah ciamiknya waktu dia main di film Hotel Rwanda. Kendati dia muslim, namun dia tetap dianggap cukup berarti bagi muslim keturunan Arab, apalagi dia seorang muslim berkulit hitam. Dipandang rendah dengan tatapan penuh curiga dialaminya saat dia akan bertemu Sang Amir. Orang-orang dekat sang Amir, terutama Umar, tetap merasa curiga dan tidak senang.

Namun ketika sang Amir datang, Samir disambutnya dengan keramahan luar biasa. Terbukalah cerita dihadapan Umar bahwa Samir merupakan salah seorang “pahlawan perang Afghanistan” yang dikenal baik di kalangan mujahid veteran Afghanistan.Cerita ini melunakkan sikap keras Umar terhadapnya. Namun bersamaan dengan hal itu, area para pejuang mujahid ini digrebek secara mendadak oleh pasukan anti teroris pemerintah Yaman yang bekerjasama dengan agen FBI, Roy Clayton (Guy Pearce). Beberapa mujahid tewas seketika dalam penggerebekan dengan senjata berat itu. Samir nyaris bisa lolos, namun dia melihat Amir jatuh tertembak di belakangnya. Dia kembali dan berusaha membawa Amir yang terluka itu lari dari sergapan itu. Namun akhirnya tertangkap.

“Traitor!” desis Umar di belakang barisan tahanan teroris yang telanjang dan tengah menunggu giliran mandi. “Oh ya, lalu kenapa aku di sini bersama dengan lainnya di tahanan ini,” jawab Samir dingin yang ada di depan beberapa baris dari Umar.

Dalam tahanan yang dipenuhi suku Arab (pendatang) dibandingkan suku Afrika. Dia satu-satunya muslim berkulit gelap, sendirian tanpa kelompok mana pun. Umar selalu bersama empat pengikutnya sehingga bisa melakukan sholat jamaah dengan kelompoknya. Sementara Samir dengan khusyu melakukan sholatnya sendirian.

Sifat lemah lembut Samir tidak pernah hilang di tengah kekerasan hidupnya. Ketika para tahanan lain (termasuk kelompok Umar) mengabaikan seorang tahan tua yang makanannya di buang oleh seorang tahanan yang merasa jagoan di sana, Samir mendatangi si bapak tua dengan lembut, dan menyerahkan makanannya sendiri kepada bapak tua itu. Dan dia rela mempertaruhkan jiwanya ketika dihakimi kelompok begundal yang mezalimi bapak tua tersebut. Satu lawan sekian orang membuat Samir babak belur dan harus dimasukkan dalam sel isolasi. Umar mengaguminya dalam diam.

Dalam kesendiriannya di sel, Samir tidak hentinya bertasbih. “Subhanallah, Subhanallah…” serangkaian scene ini nih, menyentuh banget. Aku sampe lupa bahwa Samir itu actor handal Hollywood. Bukan Samir betulan. Hehehehe….

Keluar dari sel isolasi, Samir kembali menunaikan kewajibannya, sholat. Tapi begundal Lapas malah mengganggunya saat dia sudah memasuki takbir. Samir mencoba khusuk dan tidak bergeming dalam sholat, hingga Umar datang dengan kelompoknya membela Samir. Tentu saja semua orang tahu benar siapa sesungguhnya Umar sang Mujahid dengan jaringan Internasionalnya. Itu membuat si begundal tidak pernah lagi berani mengganggu Samir selanjutnya.

Sejak itulah hubungan Samir dengan Umar terjalin dengan baik. Umar bahkan menyebutnya sebagai, “My Brother.” Mereka berbagi rokok, dan cerita. Terbukalah mereka mempunyai cerita hidup getir yang sama. Seperti halnya Amir yang fasih bahasa Inggris karena pernah menjadi imigran di Amerika, Umar pun juga lulusan luar negeri. Umar merasa terpanggil untuk berjuang untuk negerinya dan memilih terlibat dalam perjuangan “jihad”. Sementara bagi Samir, sejak ayahnya meninggal, tidak ada lagi Negara baginya, kecuali keyakinannya yang selama ini ditanamkan ayahnya sejak kecil. Tuhan, adalah jalan mendekat kepada kenangan indah terhadap ayahnya.

Dengan jaringan yang dimilikinya Umar dan kelompoknya, Samir bisa keluar dari tahanan setelah ada serangan mendadak di Lapas yang menahan mereka. Mereka melarikan diri ke Perancis. Dari sinilah Samir mulai terlibat dalam jaringan yang disebut agen FBI, Roy Clayton, sebagai jaringan teroris internasional. Berbagai rencana pengeboman dan aksi pengeboman terlacak Clayton. Semuanya itu selalu menjurus pada satu sosok yaitu Samir. Clayton pun melacak siapa itu Samir.

Tidak ada yang tahu baik Clayton maupun Umar bahwa Samir adalah agen gelap yang tidak teridentifikasi untuk CIA. Kekerasan-kekerasan yang harus dilakukannya juga bukan atas keinginan Samir. Dia sangat merindukan masa menjadi muslim penuh kedamaian yang dirasakannya saat bersama ayahnya dulu. Namun dia dipaksa dalam dua kondisi yang selalu bertentangan dengan hati nuraninya sebagai muslim sejati.

Dalam penyusuran Clayton atas track record Samir selama hidup di Amerika, jelas Samir merupakan sosok yang baik, rendah hati, dan taat menjalankan sholatnya. Kendati dia akhirnya “dipecat” oleh bosnya karena keluhan klien yang merasa tidak nyaman akan aktivitas Samir yang harus melakukan sholat ketika tiba waktunya. Ibunya juga menandaskan bahwa Samir hanya melakukan tugasnya sebagai muslim ketika dikatakan Samir adalah teroris. Hal itulah yang tidak dipahami Clayton meskipun dia seorang Phd ahli Negara-negara Islam.

Dalam dunia pergerakan sendiri Samir tidak merasa nyaman dengan cara-cara yang diterapkan Umar dan kawan-kawannya. Terutama menggunakan anak-anak masih remaja dan di bawah umur sebagai pasukan bom bunuh diri, dia juga merasa tidak nyaman jika membunuh tidak tepat sasaran dan menimbulkan banyak korban nyawa. Dia akhirnya melaksanakan sendiri pemboman di kedutaan Amerika di Nice. Dengan tingkat korban yang sangat minim. Sebagai ahli bom dia hanya perlu memastikan seberapa besar ledakan yang diperlukan hanya menunjukkan perlawanan terhadap Amerika Serikat. Operasi ini didanai oleh pria kaya keturunan Arab dari London yang meski mengaku muslim, kehidupannya sudah lebih Eropa dari orang Eropa sendiri.

Ada adegan dimana Samir harus dihadapkan “Sang Bos”-nya Umar di Perancis. Ketika sang bos mengajak toast dengan segelas anggur, Samir menolaknya. Dia mengatakan dia tidak minum, dia seorang muslim, dan minum alkohol dilarang oleh nabi. Namun Umar mendesaknya untuk meminum sedikit untuk menghormati bosnya.

Samir merasa letih dan tersiksa jiwanya. Dia tidak ingin lagi diperalat CIA atau terlibat dengan jaringan “terorist” International yang justru pendonornya tidak tahu bagaimana jadi orang Islam yang baik itu seperti apa. Dia hanya rindu dengan Islam yang selama ini ditunjukkan almarhum ayahnya. Tapi persahabatannya melebihi saudara dengan Umar juga membuatnya sedih luar biasa. Dia ingin menyelesaikan semuanya, meninggalkan CIA, meninggalkan jaringan, dan mengajak Umar menjadi muslim yang jauh dari kekerasan yang dijalaninya saat ini.

“Kita hanya diperalat oleh mereka yang punya uang yang ternyata bukan muslim yang baik, juga agen-agen Amerika.” Hal itu tidak bisa dipahami Umar sehingga mereka harus berhadapan di tengah penyergapan pasukannya Clayton.

Di antara sekian film tentang teroris dari berbagai segi…sulit juga untuk tidak mengatakan ini jauh dari propaganda. Namun menurutku film ini cukup lumayan dalam menggambarkan pergulatan seorang Samir belaka. Tapi kenapa yah, aku kok merasa, nuansa propagandanya tetap kental… Aku hanya merasa tertipu dengan aktingnya Don Cheadle. Sumpah bagus banget dia jadi Samir. Amerika banget, hehehehe. (Musfarayani)

Leave a comment